Minggu, 12 April 2009

Interpretasi Hukum

Pendahuluan.

Undang-undang sebagaimana peraturan hukum pada umumnya bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, untuk itu maka harus dilaksanakan atau ditegakkan dan supaya dapat melaksanakannya, maka masyarakat harus tahu. Dalam upaya memenuhi asas “setiap orang dianggap tahu tentang undang-undang”, selain harus tersebar luas dan jelas, undang-undang juga harus lengkap dan tuntas. Meskipun undang-undang telah dianggap lengkap dan tuntas dalam mengatur kehidupan manusia, akan tetapi kegiatan kehidupan manusia tidak terbilang banyaknya, sedangkan sebagai hasil karya manusia akan sangat terbatas kemampuannya (Sudikno, 2000). Selain keterbatasan pikiran dan kemampuan manusia, keadaan sosio-kultural, linguistik, dan latar belakang sejarah akan mengalami suatu perubahan sesuai dengan keadaan. Konsekuensinya, suatu kebenaran akan mengikuti keadaan itu, dan kebenaran tersebut selalu menjadi konstruksi sosial. Hal ini terjadi melalui mediasi bahasa. Kebenaran, doktrin hukum, prinsip hukum, dan interpretasi hukum termasuk di dalamnya. Sehingga ini semua disaring melalui struktur sosial dan budaya (Foundation of the Law, Bailey Kuklin-Jeffrey W. Stempel).

Penerapan hukum yang mengacu pada precedent/stare decisis (yurisprudensi)-pun sebagai pedoman, ternyata juga belum mampu menjawab rasa keadilan. Sehingga diperlukan cara yang dapat mewujudkan makna hukum yang lebih luas dalam rangka menegakkan keadilan. Dalam kasus majalah Tempo misalnya, fungsi hukum sebagai alat untuk meminta pertanggungjawaban kepada pelaku hukum telah gagal diterapkan, hal ini telah mengindikasikan bahwa kegagalan hukum terjadi karena manusia yang menjalankan hukum tersebut tidak dapat merefleksikan nilai dan esensi hukum itu sendiri.

Di sisi lain, pelaksanaan undang-undang, berdasarkan pada keinginan legislatif adalah penting, tetapi kata-kata yang digunakan tidak cukup jelas untuk dimengerti. Laporan-laporan dan catatan dalam penyusunan undang-undang mungkin dapat menolong. Rancangan-rancangan undang-undang terdahulu akan menunjukkan perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan interpretasi undang-undang supaya tidak terjadi kekosongan hukum.

Banyaknya elemen yang terkait dengan perdebatan teori atau pemikiran tentang norma hukum memerlukan solusi pada setiap problem, sehingga hakim akan kesulitan dalam menerapkan aturan hukum secara lebih leluasa, terutama menyangkut hak-hak individu. Untuk itu, sangat penting dilakukan upaya interpretasi terhadap hukum material, sehingga posisi hakim bukan sekedar sebagai pembuat hukum akan tetapi lebih pada upaya melakukan interpretasi hukumnya.

Pengertian interpretasi Hukum.

Proses pembacaan teks apapun, termasuk teks undang-undang adalah selalu dengan cara penafsiran (interpretation). Begitu pula di bidang hukum, penafsiran hukum adalah seni atau cara menerapkan asas-asas hukum, norma-norma hukum dan aturan-aturan hukum, khususnya yang tertulis, ke suatu kasus hukum yang konkrit, di mana di dalamnya mencakup:

1. Dalam hal aturan hukumnya sudah ada menggunakan berbagai jenis metode interpretasi dan jenis-jenis metode penalaran lainnya.

2. Dalam hal aturan hukum belum ada, maka menggunakan berbagai jenis konstruksi, penalaran hukum yang logis, yang tentu saja bersifat kasuistis.
Menurut Sudikno (2000), interpretasi hukum meliputi; metode penemuan hukum (rechtsvinding), penciptaan hukum (rechtscheppend) dan penerapan aturan umum ke kasus konkrit (rechtstoepassing) yang alatnya terdiri dari berbagai jenis metode interpretasi, metode penalaran dan konstruksi. Lebih lanjut dikatakan bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai undang- undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang mengarah kepada pelaksanaan yang bisa diterima oleh masyarakat tentang peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini sebagai sarana atau alat untuk memahami dan mengetahui undang-undang. Sedangkan pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan konkrit, bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh sehingga penjelasan ketentuan undang-undang pada akhirnya untuk merealisir fungsi agar hukum positip itu dapat berlaku.

Membicarakan interpretasi hukum akan terkait dengan persoalan: Penemuan Hukum, Legal Reasoning, dan analogi. Berikut ini akan diuraikan seperlunya.

1. Penemuan Hukum

Menurut JA Pontier (1995), proses penemuan hukum oleh hakim, bersifat perspektivistis, dalam arti bahwa proses itu senantiasa terikat pada hal-hal yang sifatnya subjektif pribadi, yaitu sudut pandang atau perspektif pribadi masing-masing hakim, sehingga penafsiran terhadap teks oleh JA Pontier selalu menekankan bahwa manusia mustahil pernah mampu mengenal dan memahami suatu objek ataupun teks secara terlepas dari pandangan pribadi si penafsir objek atau teks tersebut. Demikian pula, pemahaman (verstehen) hanya dapat terjadi dengan selalu mengacu pada sudut pandang tertentu (yang tentu saja mustahil terbebas dari subjektivitas); suatu harapan tertentu yang muncul dari seperangkat pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Untuk memperoleh pengetahuan/pemahaman yang baik tentang suatu teks, terlebih dahulu harus ada pemahaman yang memadai tentang unsur-unsur yang membentuk totalitas tentang teks dan tidak boleh menafsirkan pasal tertentu secara bertentangan dengan pasal lain atau bertentangan dengan penjelasan pasal tersebut, juga tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi hirarkinya, sesuai asas lex superior derogat lege inferiori.

Sebagai contoh, untuk dapat atau tidaknya pelaku dihukum adalah harus ada peraturan perundangan yang dilanggar. Kemudian si penyelenggara/otoritas hukum akan menafsirkan undang-undang tersebut, apakah dapat diterapkan dalam kasus terkait. Penyusunan kata-kata dan kalimat sangat berpengaruh untuk menentukan seseorang dapat dihukum atau tidak, hal ini biasa dikonotasikan sebagai "permainan kata-kata”. Di sinilah ranah korupsi hukum mulai terbuka tatkala penafsiran itu menjadi grey area (area abu-abu), di mana otoritas hukum memiliki kewenangan yang sangat menentukan penafsiran itu. Pendekatan dan metode tersebut dalam teori ilmu hukum dikenal dengan istilah: Aliran legalisme/formalisme, sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat pada abad ke-19, yang merupakan pengembangan dari positivisme hukum.

Aliran tersebut diatas menyatakan bahwa undang-undang dianggap kramat karena merupakan peraturan yang dikukuhkan tuhan sendiri dan sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena sifatnya rasional.
Tokoh aliran dalam hukum ini antara lain : John Austin, Hans Kelsen.

· Aliran Begriffsjurisprudenz, mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas, dan hukum sebagai sistem tertutup. Kekurangan undang-undang menurut aliran ini hendaknya diisi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika (silogisme) sebagai dasar utamanya dan memperluas undang-undang berdasarkan rasio sesuai dengan perkembangan teori hukum berupa sistem pengertian-pengertian hukum (konsep-konsep yuridik) sebagai tujuan, bukan sebagai sarana, sehingga hakim dapat mewujudkan kepastian hukum.

· Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsschule), menyatakan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum, tidak sekedar menerapkan undang-undang, tetapi juga memperluas, mempersempit dan membentuk peraturan dalam putusan hakim dari tiap-tiap perkara konkrit yang dihadapkan padanya, agar tercapai keadilan yang setinggi-tingginya, dan dalam keadaan tertentu hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang, demi kemanfaatan masyarakat.

Jadi yang diutamakan bukanlah kepastian hukum, karena peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin hanyalah sebagai “pengantar” atau “Pembuka jalan”, “pedoman” dan “bahan inspirasi” atau sarana bagi hakim untuk membentuk dan menemukan sendiri hukumnya yang dinyatakan dalam putusannya atas suatu perkara yang diadilinya dan dihadapkan padanya itu. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain O. Bulow, E. Stampe dan E. Fughs.

· Aliran Soziologische Rechtsschule, mengajarkan bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum dan perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan masyarakat, yang sedang hidup di dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Arthur Honderson, J. Valkhor, A Auburtin dan G. Gurvitch.

· Ajaran Paul Scholten. Sistem hukum itu tidak statis—melainkan sistem terbuka, open system van het recht, dan membutuhkan putusan-putusan (penetapan-penetapan) dari hakim atas dasar penilaian. Hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru dan senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut.

Dalam pencarian hukum yang tepat untuk penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepada Hakim, maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum.
Menurut Sudikno (1999), ada beberapa istilah berkaitan dengan “Penemuan Hukum”, yaitu sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. “Penerapan hukum” berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkret. “Pembentukan Hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan “Penciptaan hukum” ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya. Dari ketiga istilah tersebut, menurut Sudikno, istilah yang lebih tepat adalah “Penemuan Hukum”, sebagaimana tertera dalam ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman. “Penemuan hukum” ada dua jenis: (a) Penemuan Hukum Heteronom, yaitu jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. (b) Penemuan Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-undang (Sudikno, 1999, 129).

Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan dua jenis Penemuan hukum yaitu: (1) Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. (2) Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi. (www.fajar.co.id/29/10/2008).
Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya, hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan.
Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:

a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut.

b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.

c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis berupa legal reasoning. Di bawah ini akan diuraikan tentang pengertian legal reasoning.

2. Peranan Legal Reasoning dalam Interpretasi

a. Pengertian Legal Reasoning

Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.

Pengertian lain yang sering digunakan untuk Legal Reasoning adalah: Suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) atau berupa kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.

Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki.

Menurut ahli hukum, formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang dihadapkan kepada hakim saat ini. Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain? Atas dasar perbedaan ini, para ahli hukum mengambil tiga pengertian tentang legal reasoning yaitu:

· Reasoning dalam mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang terjadi.

· Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.

Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek.

  1. Peranan Legal Reasoning dalam Interpretasi

Pentingnya peranan Legal Reasoning ini timbul dari berbagai dasar di antaranya, bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian perundang-undangan. Jika suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu dasar hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Pandangan ahli filsafat hukum (Ronald Dworkin) sangat membantu dalam memperkenalkan teori hukum sebagai “interpretative concept” yang membawa pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli teori hukum dalam memberi kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning. Lebih lanjut dikatakan (Ronald Dworkin, 2006) bahwa interpretasi merupakan suatu konsep Janus-faced, yaitu harus mempertimbangkan dua arah, backward dan forward looking, atau mencari dasar ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang ke depan (menyusun konsep baru), dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah interpretasi yang harus terlebih dahulu dianggap bahwa ada sesuatu, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni. Interpretasi disini bukan hanya merupakan upaya untuk melakukan reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau mengambil sesuatu keluar dari yang aslinya.

Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi mempunyai peranan pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu: (i) dalam reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/ kasus yang terjadi, dan (ii) dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan keputusan dalam masalah/ kasus yang sedang dihadapi.

Di Amerika Serikat terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan konstitusi, hakim harus berupaya untuk menelusuri bagaimana ketentuan-ketentuan dalam konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang mengesahkannya. Pendekatan ini menyatakan semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin “benar” penafsiran tersebut (dikemukakan oleh Bork, 1990). Pendekatan ini menekankan pentingkan konsep backward-looking. Sedangkan Levinson (1982) menekankan pentingnya inovasi dan menolak originalisme yang diajukan Bork. Levinson berpendapat bahwa konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-undang (konstitusi). Seberapa besar peranan persyaratan bahwa hakim harus yakin terhadap sesuatu yang harus ditafsirkan menjadi hambatan dalam penafsiran hukum, dan adakah hambatan lainnya bagi hakim dalam penafsiran hukum?

Menurut Owen Fiss (1982) aturan disiplin dalam bentuk standar yang diterapkan bagi profesi hakim menjadi penghambat terhadap penafsiran yuridis yang akan dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara, demikian pula peraturan tentang penggunaan bahasa yang dari semula sudah merupakan hambatan para pengguna untuk mendapatkan arti yang sebenarnya dari teks undang-undang.

Raz (1996) menolak dua jenis teori umum tentang interpretasi, yaitu teori “operasional” (recipe-like theories) yang dirancang sebagai panduan bagi hakim untuk mendapatkan putusan yang tepat bagi kasus yang diadilinya, dan teori yang meskipun tidak ditujukan sebagai panduan bagi hakim dalam mengambil keputusan yang tepat, akan tetapi dirancang dalam memberikan kriteria untuk membedakan interpretasi yang baik dengan interpretasi yang tidak baik. Lain halnya dengan Ronald Dworkin yang mendukung adanya teori umum tentang interpretasi yang dapat digunakan untuk kegiatan penafsiran hukum. Bagi Dworkin, tujuan semua interpretasi hukum adalah untuk secara konstruktif menafsirkan praktek hukum di dalam masyarakat, dengan menekankan pada tujuan berupa; membuat suatu kemungkinan adanya contoh terbaik yang dapat diambil dari interpretasi. (http:/ilmu hukum 76.word Press.co/2 Juni 2008)

Di Indonesia, teori tentang penafsiran yang lazim dianut berlatarbelakang dari ilmu hukum dogmatis bertolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti secara umum melalui interpretasi yang bertujuan memberi makna terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalam undang-undang, sedangkan interpretasi merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, sering kali ditemui bahwa penafsiran undang-undang tidak diperlukan, sebab teks undang-undang itu sudah terang dengan sendirinya, mengerti kalimat atau kata dalam undang-undang berarti sudah menafsirkannya (Mahfudz, 2003). Secara garis besar terdapat beberapa jenis penafsiran yang ada dalam sistem hukum di Indonesia, antara lain yaitu:

1) Penafsiran penambah yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap undang-undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang samar-samar, penafsiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang itu sendiri.

2) Penafsiran pelengkap yaitu dengan memahami klausul dalam undang-undang serta melakukan interpretasi penambah, ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang sesuai dengan rasa keadilan yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian lagi tetap membisu di dalam teks itu. Untuk itu diperlukan upaya yang dapat menyampaikan kepada pengertian undang-undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar dipahami dan dapat berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan merupakan sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran pelengkap didapatkan melalui suatu penelitian di lapangan, guna memperoleh informasi tambahan bagi suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang untuk memikirkan semua situasi yang dapat muncul.

3) Penafsiran budaya

Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran bersifat total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/ kasus di bawah pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu, bukan bersifat politis akan tetapi bersifat sosial etis, yang menentukan apakah suatu perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok. Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan argumen yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan demikian argumen tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak (http://ilmuhukum76.wordpress.com/).

c. Preseden dan Analogi dalam Legal Reasoning.

Hal penting dalam legal reasoning selain interpretasi, berupa argumen preseden dan analogi. Dua jenis ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh baik dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa ia telah memutuskan sesuatu pada masa lalu dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya dan yang akan diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan keputusan terdahulu dalam mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambilan keputusan akan selalu mengacu kepada apa yang diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dilakukan saat ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa lalu sudah benar atau tidak.

Adapun analogi yaitu cara pengambil keputusan dengan mempertimbangkan keputusan terhadap kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda dari masa lalu.. dengan alasan bahwa karena keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten apabila sekarang diambil keputusan yang berbeda. Analogi sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus harus diperlakukan dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula kasus yang serupa telah diperlakukan. Argumen dengan analogi ini menjadi tambahan bagi doktrin preseden dalam dua hal yaitu: (i) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus tidak masuk dalam ratio suatu preseden, untuk dapat digabungkan hasilnya dalam kasus yang sama, (ii) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus masuk ke dalam ratio suatu preseden, sebagai dasar untuk membedakan kasus yang sedang ditangani dari preseden yang ada.

3. Peranan Koherensi dalam Interpretasi.

Beberapa ahli berpendapat (Kress, 1984; Marmor, 1992; Raz, 1994) bahwa teori koherensi mempunyai hubungan sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini mendapatkan tempat di dalam filsafat hukum. Teori koherensi dalam hukum juga mempunyai pengaruh pada konteks teori koherensi tentang kebenaran, kepercayaan yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang hukum sebagai integritas, adalah merupakan pendukung teori koherensi tampaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap. Koherensi, dalam penafsiran hukum sebagaimana berbicara satu suara dengan integritas mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan kenyataan hukum, artinya bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk mencapai suatu keputusan yang adil. Selain itu, bahwa ketentuan-ketentuan hukum seperti doktrin preseden, argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi.

Mac Cormick (1984) memandang koherensi dalam bentuk kesatuan asas pada sistem hukum, dan koherensi dari satu kesatuan norma hukum terdiri dari keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama. Raz (1994) juga memandang koherensi dalam hukum dengan bentuk kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin koheren hukum yang dicapai. Menurut Raz (1994) teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya “dasar” atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam karakternya secara krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat lainnya. Selanjutnya Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku, hakim harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa jika mereka memilih suatu jalan/ cara terdahulu, dan muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka pada perselisihan hukum yang mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi terhadap hukum, sehingga berakibat terjadi ketidakseimbangan dengan doktrin hukum yang berlaku. Hal ini tidak berarti bahwa legislator harus menyusun hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di masa lalu, karena legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam memperkenalkan peraturan yang baru, sehingga dapat mereformasi seluruh area hukum terkait. Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul dalam suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak berwenang melakukan reformasi hukum secara radikal. Hal ini sebagai alasan bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih bagi koherensi dengan hukum yang berlaku dalam memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya.

Dworkin (2006) mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik hakim maupun ahli hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu kesimpulan yang menciptakan hukum. Ia (Dworkin) menyatakan bahwa hukum adalah suara yang tersusun dan koheren sebagaimana suatu kumpulan prinsip-prinsip yang berhubungan dimana setiap anggotanya menerima kenyataan bahwa mereka terhubung dengan kenyataan dan hak dan tanggungjawab mereka diatur dengan prinsip yang umum. Dworkin juga mendukung pandangan koherensi global, yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan dianggap tepat, jika didasarkan kepada koherensi yang baik dengan hukum secara keseluruhan. Sedangkan Lavenbook (1984) menolak pendapat tentang koherensi global, dengan kritikannya bahwa, keunggulan koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah secara hukum didukung oleh, dalam hubungannya yang koheren dengan prinsip-prinsip yang merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, sedangkan prinsip tersebut berbeda secara substansial dengan prinsip dari bidang hukum lain, dan oleh karena itu tidak koheren. Dalam pandangan ini, suatu putusan pengadilan yang sangat koheren dengan prinsip hukum di bidang tertentu dapat saja tidak menghasilkan koherensi dengan keseluruhan sistem hukum. (www,goegle Juni 2006)

Metode Interpretasi (Penafsiran).

Menurut teori hukum, ada beberapa metode penafsiran (interpretasi) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,yaitu:

1. Interpretasi Gramatikal (interpretasi bahasa) atau tata bahasa (taalkundige, grammatikale interpretatie) atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apa adanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.

2. Interpretasi Sistematis (Logis), menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya kepada peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan (sistem hukum).

3. Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya (terbentuknya), meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang (wetshistorisch, penafsiran subyektif).

4. Interpretasi Teleologis (Sosiologis), hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini.

5. Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini dipergunakan dalam perjanjian internasional ini penting.

6. Interpretasi antisipatif (futuristis), hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan daya kekuatan mengikat (ius constituendum), misalnya rancangan undang-undang.

7. Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit (membatasi) arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya kepada persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.

8. Interpretasi Ekstensif, hakim menafsirkan dengan membatasi dan memperluas arti suatu istilah (pengertian) yang terdapat dalam suatu teks peraturan undang-undang yang berlaku.

Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang-undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:

a. Materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut.

b. Tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.

c. Zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.

Berkaitan dengan interpretasi tersebut, dibutuhkan penalaran logis (konstruksi), yang terdiri 4 (empat) jenis yaitu:

1) argumentum per analogiam (Analogi) atau Abstraksi. Hakim dalam melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tadi, tetapi bentuk perwujudannya (hukum) berbeda..

2) argumentum a contrario (a contrario), merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. A-contrario dititikberatkan pada ketidak-samaan peristiwanya.

3) Penghalusan hukum (rechtverfijning) atau penyempitan hukum atau determinatie (pengkhususan) atau Pengkonkritan hukum (Refinement of the law). Disini hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan melakukan pengecualian-pengecualian (penyimpangan-penyimpangan) baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.

4) fiksi hukum (fictio juris), yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi.

Salah satu contoh penting fiksi hukum yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya, sehingga hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto. Dalam penegakan hukum, hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) , Kemanfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut. Dan hakim yang bersangkutan tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut diabaikannya. Oleh karenanya, suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut.

Interpretasi Progresif.

Munculnya istilah interpretasi progresif tidak dapat dipisahkan oleh munculnya istilah ilmu hukum progresif, yang diusung oleh Satjipto Raharjo sekitar awal tahun 2000-an. Ilmu Hukum progresif bertujuan untuk mencari kebenaran secara utuh, bukan hanya gambar utuh mengenai hukum yang tidak saja berupa keteraturan, melainkan juga ketidak-teraturan (disorder), dan juga perlu keterbukaan terhadap realitas chaotic yang terjadi pada hukum, karena memang keadaan seperti itu bisa ditemukan dalam hukum (Rahardjo, 2006).

Adapun interpretasi progresif yang dimaksud adalah:suatu penafsiran hukum yang visioner dan membebaskan dengan berpihak pada penggunaan selain IQ, EQ juga SQ (kecerdasan spiritual) sesuai dengan urgensi dari masalah yang dihadapi.(Rahardjo, 2004).

Teori (pemikiran) interpretasi progresif dalam hukum yang diusung oleh Satjipto Rahardjo dikembangkan juga oleh Qadri A.Azizi dalam mengembangkan metodologi menuju ijtihad baru menurut pemikiran hukum Islam, yaitu dengan mengusulkan penafsiran teks (Qur’an dan hadis) secara aktif dan progresif. Aktif atau proaktif yang dimaksud adalah bahwa ketika jawaban yang diberikan oleh hukum (Islam) itu sekaligus mampu memberi inspirasi dan guidance (hudan) untuk kehidupan yang sedang dialami oleh umat dan sekaligus keputusan hukum itu juga memberi makna progresif, yaitu ketika penafsiran atau keputusan hukum itu selain untuk kehidupan yang sedang dialami oleh umat sekaligus mampu memberi inspirasi dan guidance untuk masa depan. Contoh penafsiran aktif atau proaktif dalam hukum Islam, hukum wajib dalam meningkatkan SDM (human resourcers), atau penafsiran progresif, hukum wajib (kifayah) melakukan penelitian di ruang angkasa atas dasar firman Allah Q.S. Al-rahman (Qadri, 2003) dan sejenisnya.




DAFTAR RUJUKAN

Abdul Manan, 2006; Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Ahmad Qadri A. Azizy, 2003; Redifinisi Bermazhab Dan Berijtihad: Al-Ijtihad Al-Ilmi Al-‘Ashri, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum Islam, IAIN Walisongo, Semarang.

------------, 2001; Transformasi Fiqh Dalam Hukum Nasional: Upaya Positivisasi Hukum Islam Dalam Rangka Reformasi Hukum Di Indonesia, dalam buku “Membedah Peradilan Agama”, IAIN Walisongo kerjasama dengan PPHIM/PTA Jawa Tengah, Semarang.

Chainur Arrasjid, 2004; Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Jimly Assiddiqy, 2006; Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral MKRI, Jakarta.

Liek Wilardjo, 2007; Filsafat Ilmu, Diktat Kuliah Program Doktor, IAIN Walisongo, Semarang.

Mahfuzd MD, 1995; Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum (Otoriter dan Konservatif) dalam Majalah Prisma, No.7/1995, Pustaka LP3ES, Jakarta.

Muhammad Muslehuddin, 1991; Philosophy of Islamic Law, trj. Yudian Wahyudi Asmin,et.al, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Muhammad Salam Mazkur, 1962; Al-Qadha’ fi Al-Islam, Dar Al-Qalam, Kairo.

Philipa Strum, 2001; Peran Peradilan Independen, dalam Redaksi “Demokrasi”, Office Of International Information Programs, U.S. Departement Of State, HTTP:/USINFO.State.Gov, Amerika.

Roberto Mangabeira Unger, 1976; Law In Modern Society, The Free Press, New York.

Raymond Wacks, 2006; Philoshophy Of Law, A Very Short Introduction, Oxford University Press.

R. Soeroso, 2007; Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2006; Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar kerjasama dengan IAIN Walisongo, Semarang.

------------, 2004; Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Program Doktor UNDIP, Semarang.

Sudikno Mertokusumo, 1999; Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Tempo, Selasa 10 Juni 2008.

http://dansur.blogster.com/ - Tanggal 1 Nopember 2006.

http://ilmuhukum76.wordpress.com/

http://www.fajar.co.id/ - Tanggal 29 Oktober 2008.